Cahaya Redup




Bagas Keviano atau yang dikenal Ano. Lelaki tampan yang aku akui di cukup terkenal. Asal kalian tahu, Dibalik sifat dinginnya, Ia sangat baik dan hangat.
Aku sangat menyukainya sejak kita pertama kali bertemu. Sayangnya kurasa ia tak merasakan hal yang sama. Ia menyukai seseorang yang tak kalah cantik denganku.

Bukannya aku percaya diri, Tapi dari pandangan semua orang, Aku ini anak yang cukup cantik walau bukan yang 'sangat' cantik. Dan aku mempunyai kekurangan yang buat semua orang membenciku.

"Cahaya." Lagi-lagi ia memanggilku dengan nada itu. Ia sangat diam akhir-akhir ini. Itu membuatku tersiksa dengan perlakuannya. Aku tak terbiasa mendengarnya seperti ini.
"Eh Ano!"
"Lia. Tinggalkan aku dan Cahaya berdua dulu sekarang" Gadis bernama Lia itu mundur dan keluar dari ruangan yang gelap ini. Hanya cahaya redup yang menemani tatapan mata kami.

"Cahaya, Jauhi aku. Anggap aku hilang dari duniamu." Ia memelukku. Dan mengelus puncak kepalaku dengan lembut "Maksudmu apa, Bagas?"

Ia menghelakan nafasnya. Lalu mengambil kedua tanganku "Ada sesuatu yang harus aku sembunyikan darimu. Dan aku takut aku tak bisa menyembunyikannya. Dan kamu akhirnya menjauhi ku"
Aku menggeleng cepat. Dan mengeratkan genggaman tanganku "Tidak, Bagas. Jangan begini! Aku tak mau jauh dari seseorang yang telah melindungiku selama 2 tahun terakhir ini!"

"Justru karena aku mencintaimu, Sahabat-ku. Maaf kan aku harus meninggalkanmu. Tolong jangan hubungi aku lagi"
Tentu aku menahan tangannya. Ia menengokkan lagi kepalanya kearahku. Ia tersenyum miris "Ingat, Cahaya-ku. Jaga kesehatanmu. Jangan sakit-sakit terus seperti saat bersamaku"

Menggeleng, Hanya itu yang bisa aku lakukan. Air mataku terus saja lolos dari ujung mataku. Aku memejamkan mata. Dan mengingat betapa lembutnya tangan ini.

"Semangat dalam menjalani hidup. Kau pasti bisa hidup tanpaku. Tanpa pendampingmu"

"Aku.. Aku belum bisa melihat wajahmu, Bagas. Tunggu sampai aku mendapatkan donor mata" Semakin erat aku menggenggam tangannya, Semakin jauh ia berjalan. Suara pintu terbuka-lalu tertutup sudah terdengar di telingaku.
<+>

"Cahaya!. Jangan mengurung dirimu dikamar seperti itu! lelaki tua itu sangat rindu padamu." Lelaki tua yang dimaksud ibuku adalahㅡayahku. Mereka sudah cerai semenjak mereka sudah saling membenci.

Mereka beetengkar setiap hari tanpa henti. Tak ada hari tanpa ketenangan, Semua yang membuatku seperti ini adalah ulah mereka.

flashback.

"Kau lelaki bodoh yang hanya mementingkan uang! Dan kau tak lihat perjuanganku membesarkan anak kandungmu itu?! Kau tak lihat berapa sayangnya aku pada anakmu itu?! Kau buta ya?!"

Ibu ku sudah memegang sebuah pecahan kaca yang ia batu pecahkan tadi. Aku yang baru berumur dua tahun belum mengerti apa itu yang namanya pertengkaran 'orang tua'.

Aku hanya menatapi mereka beradu argumen tentang hak asuh. Memang mereka sudah pisah sejak lama, Namun mereka belum memutuskan untuk cerai.

"Lalu kau mau apakan dia jika aku mengasuhnya?! Kau ibu paling buruk kau tahu?!" Kali ini ayahku yang berbicara. Ia masih menahan amarahnya. Ia hanya meregangkan dasinya dan membuka beberapa kancing dibajunya.

"Terserah diriku juga! Mau aku melempar beling iniㅡ" Tepat saat ibuku berkata seperti itu, Belingnya terlempar tepat kearah mataku. Yang menyebabkan saraf mataku rusak dan tak bisa melihat.

Sejak saat itulah aku buta, Sejak saat itu juga kesedihan dalam hidupku dimulai. Namun, Bagas dan seseorang datang lalu bersedia membantuku sampai sekarang. Ia yang selalu berada disampingku dimana pun aku berada.

Ia akan bersedia menyiapkan bahu saat aku ingin menangis. Dan ia juga bersedia babak belur saat lelaki lain menonjoknya akibat ia membelaku.

Ia Lelaki special yang tlah tuhan kirim untukku. Walau ia akan pergi.. Disaat waktunya tlah tiba.

flashback off

"Bodoh! Cepat keluar" Ia menggedornya dengan kencang, Ayahku sering mabuk semenjak orang tuaku cerai. Aku juga tak mengerti, Apakah sesusah itu untuk move on dari orang yang sangat ia benci?

Aku hanya diam dan menidurkan diri dikasur sederhanaku. Aku membiarkan suara gedoran itu masuk ke gendang telingaku dengan kasar. Aku biarkan itu menjadi yang menemaniku diantara aku dan tangisku.

Aku memikirkan bagaimana hidupku tanpa Bagas. Ia benar-benar membantuku selama ini. Apakah aku akan mati jika tidak bersamanya? Semoga iya. Karena aku yakin, Hidup tanpanya itu sangat sulit.

Aku memutuskan untuk kabur dari rumah ini selama semalam. Aku akan tidur di halte bus.

<+>

Aku berjalan sempoyongan tanpa tahu aku akan jatuh atau tidak. Aku mengenakan jaket hoodie ku dan berjalan kearah halte bus untuk pulang dan segera kembali ke dunia yang sesungguhnya.

Namun dijalanan aku melihat seorang gadis yang menggunakan tongkat berjalan. ia mengarahkan tongkatnya kearah yang tak berliku.

Lalu ia duduk ditempat aku akan bersinggah sebentar untuk menunggu bus yang akan menjemputku "Bisakah kau menuntunku kearah tempat duduk disini?"

Aku menoleh dengan tatapan bingung "Ya? Oh tentu" Aku memegang tangan kanannya dengan lembut. Lalu menuntunnya untuk duduk.

Aku rasa ia buta. atau memang iya? Aku rasa. "Kau ingin kemana?" Tanya nya tanpa melihat kearahku. Ia hanya memainkan kaki kanan dan kirinya lalu diayunkan.

"Hm, Rumah" Ia mengangguk. Lalu aku juga duduk disebelahnya dan mengambil jarak. Namun baru saja aku duduk, Rintikan hujan jatuh.

Dia sedikit terkejut dengan suaranya yang cukup keras "Hujan ya? Waah.. aku rasa aku tak bisa tidur disini malam ini"

Apa katanya? Tidur disini? "Katamu apa? Tidur disini? Kau tak punya rumah?" Ia diam saja dengan pasti. Lalu tak menjelaskannya.

Aku juga sadar, Itu privasi dia. Namun apa wajar membiarkan seorang gadis tidur di halte bus?

"Kauㅡ"

"berhenti bertanya" tiba-tiba ia mengatakannya dengan tegas. Aku sedikit terkejut. Namun saat aku melihat wajahnya, Ia sudah meneteskan banyak air mata.

Matanya juga bengkak kalau diperhatikan. Entah kenapa hatiku juga merasakan sedikit sakit saat melihatnya menangis. sebenarnya siapa dia? Aku juga merasa tak begitu asing dengan wajah dan gerak tubuhnya.

"Menangis saja kalau itu meredakan sedikit masalahmu" Ucapku asal. Aku tak pernah berkata seperti itu sebelumnya. Jujur.

"Aku sudah lelah menangis.. Namun begitu lah hidupku. Hanya dipenuhi oleh tangisan" Ia menghapus butir tangisan yang keluar dari matanya. Lalu ia menghadap kearahku.

"Boleh aku tahu siapa namamu?"

"Bhanu. Kau?" Wajahnya senyum kecil "Cahaya Indah"

🎆

Cerita kali ini sedikit lebih panjang karena ini to be continued..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rintik hujan di halte bus

No escape room

an.nyeong